Berhala Pop Bernama Kontes Idol

Lama benar wabah demam idol melanda tanah air. Sekarang layar kaca kita rasanya sudah sesak dengan berbagai macam warna kontes idol seperti kontes menyanyi, modeling hingga lomba menjadi pemandu acara (presenter). Hampir semua stasiun televisi di Indonesia mempunyai program acara bernuansa mimpi dan puja-pujaan seperti ini, bahkan ada yang setiap minggunya menayangkan lebih dari dua acara.

Oleh: LISTON AQURAT

Di luar benar tidaknya tujuan ideal kontes idolyang konon merupakan ajang adu kreasi dan pencarian bakatnampaknya kontes idol merupakan magnet bagi semua pihak.

Penonton bersemangat karena disuguhkan jenis tontonan baru. Penonton mencicipi pencitraan sedemikian rupa bagaimana seseorang merangkak dari bawah sebelum akhirnya menjadi penyanyi yang masuk ke orbit dunia hiburan. Dan suasana itu pun dibumbui proses eliminasi yang penuh haru-biru dan gegap gempitanya para penonton. Asal tahu saja kontes idol mengalahkan popularitas sinetron yang sempat merajai pertelevisian sewindu terakhir ini.

Para kontestan pun popularitasnya meroket tajam membuat para pemain lama menjadi iri, apalagi bisa jadi juara atau setidaknya masuk tiga besar. Joy Tobing misalnya, dihadiahi Toyota Vios dan kontrak satu album di bawah bendera BMG Indonesia. Peserta-peserta lain pun senang, karena dimanjakan dengan segudang hadiah dan iming-iming popularitassetidaknya untuk setahun ke depan.

Yang tidak kalah untung adalah pihak televisi, misalnya Indosiar yang memegang kontrak para akademia, berhak mengatur royalti penjualan CD dan kaset dari pihak label. Jargon akademia pun jadi brand, sehingga bisa terjun ke dunia sinetron dan layar lebar. Dan lagi, penyedia jasa komunikasi telepon seluler mendapat kue dari pesta-pesta ini. Maklumlah, ada ribuan lebih SMS yang masuk untuk acara 2 sampai 3 jam ini. Dan satu lagi tidak ketinggalan, tarif pemasangan iklan yang selangit yang membuat para produser riang gembira.

Begitulah kontes idol sebagai domain kontemporer di mana benda dan manusia dipuja-puja oleh manusia karena talenta yang terkadang tidak jelas. Tidak berlebihan rasanya fenomena ini sama halnya dengan berhala yang padanya diharapkan bisa mewujudkan mimpi siapa saja, terutama remaja.

Televisi Peduli Anak

Martin Esslin menyebutkan bahwa abad ini sebagai abadnya televisi (the age of television), yaitu abad yang penuh dengan kelimpahan informasi dari televisi. Situasi ini mengakibatkan kita senantiasa haus dan terbius untuk selalu melihat dan menonton, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. (Jurnal Iski, 1999)

Oleh: MAZDALIFAH

Pendapat Esslin tersebut tidaklah berlebihan, jika kita melihat situasi saat ini di sekeliling kita. Jutaan orang pada saat yang sama menyaksikan tontonan yang menawan hati semacam konser AFI, Indonesian Idol, bahkan sampai Konser Dangdut Indonesia (KDI). Jutaan khalayak seperti terhipnotis menyaksikan bintang idolanya muncul, orang dewasa sampai anak-anak ramai menggalang dukungan lewat layanan pesan singkat (SMS/short messaging services). Perilaku mereka seakan-akan terbius, dan selalu rajin menyaksikan tontonan tersebut dari minggu ke minggu.

Baca lebih lanjut

Hiperrealitas Media

Kita paham bahwa sekarang era berada pada tingkat reproduksi (fashion, media, publisitas, informasi, dan jaringan komunikasi), pada tingkat yang secara serampangan disebut Marx dengan sektor kapital yang tidak esensial… artinya dalam ruang simulakra, kode, proses kapital global ditemukan. (Baudrillard, 1983:99).

Oleh: VINSENSIUS SITEPU

Pasti ada sesuatu yang salah dengan media hingga Baudrillard menempatkannya sebagai bagian dari simulakra. Mengacu pada pemikirannya mengenai simulakra, maka media hanya dipandang sebagai pabrik yang mereproduksi hal-hal yang sama sekali tidak nyata (imajiner). Atau jelas Baudrillard, “Yang benar dan yang nyata, lenyap dalam kelongsoran simulasi… tidak ada realitas atau kebenaran di belakang bagian luar simulasi.” Ini juga yang mematahkan asumsi bahwa setiap kondisi zaman sekarang adalah godokan dari yang nyata dan yang imajiner.

Baca lebih lanjut