Ketika Pertanyaan Kebenaran adalah Detik Waktu Kita

Ketika pertanyaan kebenaran adalah detik waktu kita. Kalimat seperti ini sudah terlalu sering kita dengar dan kita baca. Dan barangkali juga tidak sedikit yang sudah menuliskannya sebagai sebuah hasil kontemplasi filosofis selama bertahun-tahun.

Dalam tahapan kontemporer saat ini, bolehlah kita menyandarkan pemikiran pada para filsuf yang memang selalu mempertanyakan kebenaran di setiap detik hidup mereka. Dan mereka memang hidup untuk itu. Termasuk kita, khususnya ketika tidak menyadari bahwa sebenarnya tidak ada yang disebut kebenaran. Kebenaran secara praksis hanyalah permainan semantik, bahasa dan simbol-simbol komunikasi yang sebenarnya berkehendak berkuasa.

Mari kita bertanya pada diri sendiri sebenarnya apa itu kebenaran. Jika kebenaran adalah representasi fakta melalui berita-berita koran dan televisi sebagai media, Anda boleh merasa benar. Tapi sejatinya lebih banyak salahnya. Adalah sesat jika berita koran dan televisi adalah sumber kebenaran. Jika memang demikian, kebenaran seperti apa yang Anda sebut di masa rezim Orde Baru. Orde Baru cenderung memerintah sangat otoriter dan mengarah pada fasisme. Mengusung demokrasi katanya, selayaknya topeng.

Auguste Comte mengatakan manusia sesungguhnya mampu menangkap realitas sebagai sebuah kebenaran, sebatas panca inderanya mampu. Namun penganut nihilisme, Nietzsche memandang Comte sebagai orang yang cenderung absurd, sebab kebenaran yang dikumandangkan Comte berlaku secara universal. Demikian juga Nietzsche mengkritik keras pandangan Descartes dan Immanuel Kant yang terlalu mengkehendaki kebenaran melalui sudut pandang teologi yang secara mendasar terlalu irasional.

Apa yang hendak disampaikan Nietzsche sesungguhnya adalah kebenaran tidak berlaku secara universal dalam konteks global. Sebab kebenaran tergantung sudut pandang seseorang, kelompok ataupun negara. Dan itu semua sangat dipengaruhi aspek ekonomi, politik dan budaya di mana fakta, realitas itu dimunculkan. Kebenaran invasi AS ke Irak akan tampak berbeda antara media Arab dan Barat.

Di sini kita mendapatkan titik di mana ketika faktor ekonomi (kapital) begitu besar, seseorang, kelompok atau negara memiliki kesempatan yang besar menentukan kebenarannya. Maka kebenaran relatif seperti ini kembali sangat ditentukan oleh lembaga pers, konsepsi jurnalisme sebagai medium pesan.

Saya lebih suka menyebutnya sebagai kebenaran virtual yang penuh praktik simulasi, manipulas dan rekayasa.

Media juga terkadang “mendidik” untuk selalu takut. Takut untuk berkulit gelap dan tidak mulus, sehingga mendorong kita membeli berbagai produk yang sesungguhnya tidak kita butuhkan. Demikian juga media menjadikannya kita malas sekaligus antisosial. Ada pula yang mengatakan televisi juga menghambat kemampuan membaca, menulis dan mengkritisi dinamika sosial.

Yah, inilah peradaban kita, yang cocok kalau kita sandingkan jargon ini bersama kata ‘lubang hitam’. Lengkapnya bukankah peradaban kontemporer ini sulit untuk ditolak, saking kerasnya rayuan dan kenikmatan yang ditawarkannya.

Media saat ini adalah acuan utama untuk menafsirkan realitas dunia. Adalah kecenderungan kita untuk tidak mempertanyakan kebenaran seperti apa yang hendak disampaikan media tersebut. Kita terkadang menerimanya begitu saja (taken from granted), menjadikannya referensi yang bisa dipercaya. Dalam hal ini ketika internet (baca: weblog) Anda katakan menjadi ranah desentralisasi informasi, belum bisa dikatakan masif terjadi, sebab penetasi media baru ini sangat kecil.

Hasil survei World Association Newspaper (WAN) menemukan bahwa oplah suratkabar dunia naik 20 persen. Untuk kawasan Asia dan Amerika Latin budaya multimedia belumlah kental. Makanya di kawasan ini media tradisional, radio dan televisi masih laku dijual. Artinya hegemoni media sentralistis masih ada. Walau tidak juga bisa dipungkiri ada banyak kaum puritan melihat internet juga serupa dengan media sebelumnya, ketika taipan media berkantung tebal masih nongkrong di media baru ini.

Kalau dalam kasus seseorang mengkritik media tetapi ia bekerja untuk kapitalis media, layaklah Anda sebut ia munafik. Jika ia, maka sesungguhnya ia tidak sendiri. (Vinsensius Sitepu-sebuah pandangan pribadi)

Satu pemikiran pada “Ketika Pertanyaan Kebenaran adalah Detik Waktu Kita

  1. untuk penulis…
    saya menantikan tulisan selanjutnya,
    tema ini menarik, tapi bagaimana jika penulis memfokuskan diri pada ketidakmampuan media baru dalam perang melawan media lama, misalnya…

Tinggalkan komentar