Mewujudkan Pendidikan Kecakapan Bermedia

newpostcardwebpreview.jpg

Saat anak-anak menghabiskan waktunya selama 1.820 jam per tahun di depan televisi sebelum mereka duduk di bangku sekolah, kita tidak dapat memungkiri cara televisi dan isinya mampu membentuk persepsi mereka tentang dunia.

Revolusi media membawa dampak yang sangat masif terhadap perkembangan budaya dalam peradaban manusia. Salah faktor kuat adalah diusungnya paradigma kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi bagi rakyat oleh banyak negara, khususnya melalui pers (surat kabar dan televisi). Film dan musik juga menjadi elemen penting dari komunikasi massa yang sangat efektif menyebarkan ideologi, budaya dan jargon-jargon aneh.

Televisi misalnya, melalui banyak penelitian digambarkan hampir sama, yakni sebagai “the messenger of violence“. Penyebaran berbagai “gagasan” kekerasan melalui televisi telah membawa dampak negatif terhadap perkembangan psikologis masyarakat urban.

Jumlah pranata komunikasi massa di muka bumi saat ini barangkali jutaan jumlahnya, ditambah lagi institusi pendukung semisal hubungan masyarakat (humas) dan perusahaan periklanan. Dan secara geografis sebuah perusahaan media bisa memiliki cabang di puluhan negara membentuk jejaring dan “tentakel” yang panjang. Tak jarang sang pemilik media sulit menolak untuk disetir secara politik oleh negaranya. Maka, saat ini sangat naif rasanya jikalau kita memberi penilaian bahwa media benar-benar berpihak pada publik dan tidak partisan terhadap kelompok dominan dan kaum elit.

Hal ini menuntut masyarakat sendiri sebagai konsumen media harus lebih proaktif dan kritis memandang media. Adalah konsep kecakapan bermedia (media literacy) bisa digunakan sebagai perangkat utama. Konsep ini sudah selama puluhan tahun diterapkan secara umum di perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat dalam bentuk mata kuliah dan mata pelajaran khusus di sekolah dasar dan menengah. Bahkan di Australia dan Kanada pendidikan media mendapat porsi yang sangat besar.

Menurut Baran (2002) kecakapan bermedia adalah kemampuan untuk secara efektif dan secara efisien memahami dan menggunakan komunikasi massa. Sedangkan Messaris dalam Baran menyebutkan kecakapan bermedia adalah pengetahuan tentang bagaimana media berfungsi terhadap masyarakat. Lalu oleh Rubin masih dalam Baran, mendefinisikan kecakapan bermedia sebagai pemahaman terhadap sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan diproduksi, proses seleksi, interpretasi dan efek dari pesan-pesan tersebut.

Dalam pandangan yang kurang lebih serupa dari http://www.en.wikipedia.org, kecakapan bermedia adalah proses mengakses, analisis, evaluasi dan membuat pesan-pesan dalam beragam bentuk. Hal ini mengacu pada konsep yang mendorong orang-orang untuk kerap mempertanyakan atas apa yang mereka tonton, lihat dan baca. Hal ini dirasakan bermanfaat dalam mengembangkan rasa kritis untuk menganalisis pesan, mendeteksi pesan progaganda, sensor, dan bias pada berita dan program-program televisi. Serta untuk memahami sejauh mana struktur kepemilikikan media mempengaruhi informasi yang disuguhkan.

Lebih jauh daripada itu, kecakapan bermedia ditujukan untuk memampukan orang banyak agar mahir dalam membuat dan memproduksi pesan media, keduanya dalam memfasilitasi dan memahami kekuatan dan keterbatasan setiap medium, termasuk juga bagaimana membuat media independen.

Dengan mengubah proses konsumsi media ke dalam proses aktif dan kritis, orang-orang akan memperoleh kesadaran yang baik atas potensi salah tafsir dan manipulasi, khususnya melalui iklan dan teknik kehumasan, dan memahami perilaku media dan partisipasi media dalam mengkonstruksi cara pandang terhadap realitas.

Dalam masa di mana masyarakat dunia mendapatkan informasi dari buku teks, gambar-gambar, kita memerlukan definisi yang lebih luas mengenai literasi/literacy (baca: kecakapan baca dan tulis). Kebanyakan dari kita tumbuh dewasa dengan kalimat: don’t judge book by its cover atau a picture reflects thousands of words.

Kalimat-kalimat itu menjadi lebih nyata tidak hanya dipengaruhi oleh komputer dan telekomunikasi, tetapi termasuk entitas realitas virtual dunia internet tentu saja. Teknologi saat ini merepresentasikan kombinasi atas apa yang kita lihat dan dengar yang menjadi sulit bagi kita untuk membedakan antara ilusi dengan realita dan fakta dengan fiksi. Efek khusus yang kita dalam film Forest Gump misalnya, menghadirkan fiksi yang seolah-olah nyata. Anda pasti ingat benar ketika tokoh utama dalam film tersebut bisa bersanding dalam satu frame dengan John F. Kennedy.

Sementara itu dalam konteks media massa, teknik-teknik pengolahan pesan di samping memperkaya isi pesan dan cara penyampaian, pada sisi lain teknik tersebut merepresentasikan betapa tayangan infotainment mendistorsi objektifitas, netralitas dan warta-warta yang layak dipercaya. (Walaupun sesungguhnya konsep objektifitas dan netralitas kini masih kontraversial-red).

Tetapi kecakapan bermedia bukan hanya seputar persoalan mengonsumsi informasi. Kecakapan bermedia yang ideal dimaksudkan mengupayakan setiap individu mampu memproduksi, mengkreasi dan secara efektif berkomunikasi dalam berbagai wujud, tidak hanya cetak. Misalnya penggunaan teknologi internet untuk menghadirkan informasi yang memiliki konten yang lebih kaya dan menggapai sasaran yang lebih luas. Individu media setidaknya paham bahwa dengan internet mampu merepresentasikan kombinasi atas banyak wujud pesan, mulai dari pesan tertulis, video, suara, gambar dan animasi.

Untuk mewujudkan itu menjadi kenyataan tentu dibutuhkan edukasi yang intensif mengenai pentingnya pendidikan bermedia dalam berbagai tingkatan pendidikan.

 

blog.jpg

Beberapa segi perkembangan

Pendidikan media pada awalnya berkembang di Inggris. Kemudian meluas pengaruhnya di Australia, Afrika Selatan, Kanada, Amerika Serikat, dengan ketertarikan yang mulai tumbuh di Belanda, Italia, Yunani, Austria dan Swiss, termasuk beberapa negara lain.

Kecakapan bermedia awalnya dikembangkan sebagai alat ajar dalam melindungi orang-orang dari efek paparan pesan media. Negara yang pertama kali mendengungkan konsep dan paradigma ini adalah Inggris pada tahun 1930-an.

Pada tahun 1980-an timbul semangat untuk memperkenalkan bahwa ideologi kekuatan media erat kaitannya denan naturalisasi citra (image). Pesan-pesan yang sesungguhnya terkonstruksi, terbaca sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Fokus kecakapan bermedia juga beralih pada konsumsi citra dan representasi, yang dikenal sebagai paradigma representasional. Di Inggris dan Australia kecakapan bermedia seringkali menjadi mata pelajaran tersendiri, sama halnya pada kurikulum Bahasa Inggris.

Di Australia, pendidikan media banyak dipengaruhi perkembangan di Inggris terkait dengan inokulasi (innocullation), seni popular dan pendekatan demistifikasi. Tokoh yang mempengaruhi dalam pendidikan media di Australia adalah Graeme Turner dan John Hartley.

Pada tingkatan senior, usia 11 tahun dan 12 tahun, beberapa negara bagian menawarkan studi media sebagai pilihan kajian. Misalnya banyak sekolah di Queensland menawarkan kajian perfilman, televisi dan media baru.

Sedangkan sekolah-sekolah di Victoria pendidikan media didukung penuh oleh asosiasi guru-guru profesional yang mengajar subjek pelajaran media. Mereka tergabung dalam Australian Teachers of Media (ATOM) yang juga menerbitkan sumber-sumber penting berupa publikasi dan panduan yang baik.

Sementara itu di Eropa, pendidikan media hadir dalam berbagai bentuk berbeda. Pendidikan media diperkenalkan pada kurikulum dasar Finlandia pada tahun 1970 dan pada pendidikan menengah atas di tahun 1977. Tetapi pendidikan media yang kenal saat ini tidak berkembang di Finlandia hingga tahun 1990-an. Sedangkan di Swedia pendidikan media semakin berkembang sejak tahun 1980. Dan di Denmark sejak tahun berkembang sejak tahun 1970 yang fokus pada teknologi informasi. Di Prancis dan Jerman, masing-masing menitikberatkan pada film dan Jerman giat menerbitkan teori-teori mengenai kecakapan bermedia.

Di Amerika Utara, konsep kecakapan bermedia dijadikan sebagai topik pendidikan berkembang pada tahun 1978. Hal ini diperankan oleh Association for Media Literacy (AML), Ontario. Kanada memang dikenal sebagai negara di Amerika Utara yang gigih mengembangkan kecakapan bermedia. Hal ini didasarkan pada dua hal. Pertama, adanya kepedulian terhadap budaya popular Amerika. Dan kedua kesadaran pengembangan sistem pendidikan harus didasarkan pada konteks paradigma baru pendidikan.

Pendidikan media di sekolah-sekolah AS sendiri tidak terlalu mendapat perhatian besar. Hal ini diakibatkan sistem pendidikan yang terdesentralisasi dengan 70 juta anak-anak yang saat ini tersebar di sekolah-sekolah swasta dan pemerintah. Di negara federal ini tidak ada otoritas dalam membuat kurikulum yang meliputi secara nasional. Setiap 50 negara bagian memiliki banyak sekolah distrik yang masing-masing memiliki independensi. Namun demikian, beberapa sekolah distrik banyak menerapkan program yang terstruktur, kursus-kursus terarah, serta kegiatan produksi dan kajian media.

Dan universitas-universitas ternama seperti Universitas Columbia, Universitas New York, Universitas Texas-Austin dan Universitas Temple menawarkan kursus dan lembaga musim panas yang mengajarkan kecakapan bermedia bagi para guru dan siswa-siswa yang baru lulus.

Di Negara bagian North Carolina, AS misalnya kurikulum keahlian informasi menekankan kepada para siswa agar mampu memahami potensi seleksi media dalam pemberitaan, menggambarkan berbagai kesimpulan mengenai penyebab dan efek relasi antara laporan media dan respon publik, mengenal efek distorsi, stereotip, propaganda dan kekerasan dalam media visual.

Oregon’s Certificate of Initial Mastery Outcomes juga menjelaskan konsep ini: Para siswa diharapkan mampu berpikir kritis, kreatif dan reflektif, menggunakan teknologi yang ada termasuk komputer dalam memproses dan memproduksi informasi, berkomunikasi melalui bacaan, menulis, berbicara dan mendengar sebagaimana melalui bentuk visual yang terintegrasi.

Pada tahun 1992, Carnegie Counsel on Adolescent Development menerbitkan hasil studi mereka mengenai masalah remaja Amerika. Termasuk di dalamnya masalah alkohol, rokok, pelecehan seksual, kehamilan dini, seks tak aman, diet tak aman dan kekerasan. Dalam laporan itu mereka merekomendasikan betapa pentingnya menggalakkan kecakapan bermedia dalam membendung sekaligus tameng dari efek negatif media atas pesan-pesan kekerasan dan seks bebas.

Di Negara bagian Maryland misalnya mensyaratkan para siswanya agar mampu menganalisis bagaimana pengaruh media terhadap perilaku seksual mereka. Sedangkan Georgia para siswa diharuskan mampu mengindentifikasi dan menganalisis iklan alkohol dan rokok.

Pendidikan Kecakapan Bermedia di Indonesia

Menurut catatan dari Yayasan Pengembangan Media Anak yang fokus pada pendidikan media terhadap anak mencatat, di Indonesia, setiap anak dapat menonton televisi selama lebih dari 3,5-5 jam sehari. Anak-anak tidak hanya menonton tayangan yang memang ditujukan bagi mereka, tetapi juga tayangan yang belum pantas untuk mereka tonton. Kondisi ini terjadi tanpa pengawasan yang ketat dari orangtua.

Data pola menonton televisi pada anak-anak menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal. Angka 35 jam per minggu, berarti sama dengan 1820 jam per tahun, padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut UNESCO tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikhawatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan televisi dalam mempengaruhi anak-anak sangat besar. Di samping jumlah jam belajar yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang tua terhadap tontonan anak, membuat anak-anak mereka tidak mempunyai filter terhadap tayangan yang tidak mendidik. Dari 1000 jam belajar per tahun di sekolah dasar, pendidikan tentang media hanya dibahas sangat sedikit dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat interaksi anak-anak dengan televisi jauh lebih tinggi dibanding interaksinya dengan buku-buku pelajaran. Kondisi seperti ini menuntut anak untuk memiliki self sensor awareness terhadap media televisi. Semakin cepat media ini berkembang, maka daya tanggap anak terhadap dampaknya juga harus dibangun.

Saat ini pendidikan melek media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakan-gerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye-kampanye mengenai kecakapan bermedia. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya. Namun, gerakan-gerakan ini baru bisa dilakukan dalam skala kecil. Pendidikan melek media tidak cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan road show selama seminggu. Akibatnya, upaya-upaya memperjuangkan pendidikan melek media belum dapat dirasakan oleh semua pihak secara luas.

Len Masterman dalam tulisannya yang berjudul A Rationale for Media Education, (dalam Silalahi: 2007) menawarkan beberapa cara sederhana dalam pendidikan media, yaitu:

:: Sejarah

Guru dapat mengajarkan kecakapan bermedia dengan cara mengajak siswa untuk menilai secara kritis bukti-bukti sejarah yang ditampilkan melalui media. Bila berbicara dalam konteks televisi, maka sarana yang dapat dipakai adalah film-film bertemakan sejarah. Contoh yang paling sederhana adalah membahas film G-30 S/PKI. Siswa diajak untuk melihat atau menbandingkan bukti-bukti sejarah, kronologi peristiwa, dan hal-hal lain yang mereka pelajari di kelas dengan apa yang ditampilkan oleh film tersebut.

:: Ilmu Pengetahuan Alam

Guru dapat mengajak siswa untuk menilai gambaran, citra, fungsi dan status dari ilmu pengetahuan alam dan ilmuwan yang ditampilkan di media. Contohnya, ilmuwan sering digambarkan sebagai orang yang aneh karena terlalu pintar, kurang bersosialisasi karena terus-menerus berada di laboratorium, berkepala botak, dan berkacamata tebal. Guru dapat meminta penilaian siswa apakah siswa setuju dengan penggambaran tersebut atau tidak. Apakah menurut siswa penggambaran tersebut sesuai dengan kenyataan atau tidak. Selain itu, guru juga dapat menggunakan pesan-pesan iklan untuk dianalisis.

Guru dapat mengintegrasikan program-program popular tentang ilmu pengetahuan alam ke dalam kurikulum formal sekolah. Misalnya program televisi Galileo, untuk membahas mata pelajaran fisika, matematika dan biologi. Siswa bisa juga dimotivasi untuk memperhatikan isu-isu terkait dengan mata pelajaran yang ditayangakan melalui berita televisi, seperti isu wabah flu burung. Dalam pelajaran biologi, guru dan siswa dapat berdiskusi mengenai apa itu flu burung, apa bahayanya bagi unggas-unggas dan apakah bisa menular ke manusia, apakah penanggulangan flu burung dengan membunuh unggas-unggas ada dianggap sudah tepat? Guru dapat menanyakan pendapat siswa mengenai hal-hal tersebut. Aktivitas ini diharapkan dapat membangun daya kritis siswa terhadap informasi yang diperoleh dari media, terutama televisi.

:: Ilmu-ilmu sosial dan pendidikan politik

Guru dapat mengajak siswa untuk membandingkan representasi media dengan informasi-informasi yang didapat dari buku-buku pelajaran dan yang dipelajari di kelas. Misalnya, siswa diminta menjelaskan bagaimana televisi menggambarkan orang kulit hitam, orang Tionghoa dan kelompok-kelompok minoritas lainnya dalam masyarakat. Siswa dimintai pendapatnya mengenai norma-norma dan budaya masyarakat yang ditampilkan dalan sinetron-sinetron. Untuk topik yang lebih serius, misalnya, guru menanyakan pandangan siswa mengenai teroris yang dikaitkan dengan islam, peran media dalam pemilihan umum, kampanye-kampanye politik di televisi dan masih banyak lagi.

:: Bahasa dan sastra

Guru dapat mengajak siswa untuk menganalisis penggunaan bahasa dalam media. Siswa diminta untuk berpendapat tentang penggunaan bahasa gaul dalam sinetron-sinetron dan contoh penggunaan bahasa tidak baku lainnya. Beberapa selebritis terkadang berbicara dalam Bahasa Indonesia yang diselingi Bahasa Inggris. Tanyakan kepada siswa, menurut mereka mengapa selebritis-selebritis tersebut berbicara seperti itu. Selain itu, siswa juga bisa didorong untuk menganalisis tag line iklan-iklan. Guru menanyakan apa tag line favorit siswa dan mengapa siswa memilih itu. Film-film atau sinteron yang diangkat dari cerita-cerita rakyat juga dapat dijadikan bahan analisis. (vinsensius sitepu)

DIRANGKUM DARI BERBAGAI SUMBER:

l http://en.wikipedia.org/wiki/Media_literacy

l http://www.ced.appstate.edu/departments/ci/programs/edmedia/medialit/links.html

l http://www.media-awareness.ca

l http://www.kidia.org

l Stanley J. Baran, Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture, McGraw-Hill, 2006

Tinggalkan komentar